Kamis, 22 September 2011

Punakawan Dalam Pewayangan Jawa

 
Punakawan merupakan tokoh-tokoh dalam dunia pewayangan (yang lucu-lucu). Tokoh-tokoh ini dalam sejarahnya tidak ditemui dalam kisah Mahabharata asli atau versi mitologi Hidu. Konon, tokoh-tokoh ini diciptakan oleh Sunan Kalijaga, atas saran para Wali lainnya juga, sebagai salah satu media dalam melakukan penyebaran agama Islam di tanah Jawa.
 
Punakawan adalah karakter yang unik dan khas dalam pewayangan Indonesia. Mereka melambangkan orang kebanyakan.

Karakternya memuat bermacam-macam peran seperti penasihat para ksatria, penghibur, kritis sosial, badut bahkan sumber kebenaran dan kebijakan.

Karakter Punakawan ini memang tidak ada dalam versi asli mitologi Hindu epik Mahabarata dari India. Punakawan adalah modifikasi atas sistem penyebaran ajaran-ajaran Islam oleh Sunan Kalijogo dalam sejarah penyebarannya di Indonesia terutama di Pulau Jawa. Walaupun sebenarnya pendapat ini pun masih diperdebatkan oleh banyak pihak.

Jika melihat ke biografi karakter-karakter Punakawan, mereka asalnya adalah orang-orang yang menjalani metamorfosis (perubahan karakter yang berangsur-angsur) hingga menjadi sosok yang sederhana namun memiliki kedalaman ilmu yang luar biasa.
 
Punakawan terdiri dari empat tokoh denga berbagai karakter yang unik di dalamnya. Ada Semar, Petruk, Nala Gareng dan juga Bagong. Menilik karakter yang ada, Semar adalah si bijak yang kaya ilmu dan memiliki sumbangsih yang besar pada ndoro-ndoronya lewat petuah-petuah yang disampaikan, meski kadang dengan gaya bercanda. Sementara itu, Gareng adalah tokoh yang tidak cakap dalam berkata-kata walau sebenarnya memiliki pemikiran-pemikiran luar biasa, cerdik dan pandai.


Semar ( Sang Bapak )

Semar berasal dari kata Arab simaar atau ismarun yang artinya paku. Paku adalah alat untuk menancapkan suatu barang, agar tegak, kuat dan tidak goyah. Semar juga memiliki nama lain, yaitu Ismaya, yang berasal dari kata asma-Ku atau simbol kemantapan dan keteguhan. Karena itu usaha yang dilakukan harus didasari keyakinan yang kuat agar usaha tersebut tertancap sampai mengakar.
 
Semar - Simbol Kematapan dan Keteguhan

 
Semar merupakan pusat dari punakawan sendiri dan asal usul dari keseluruhan punakawan itu sendiri. Semar disegani oleh kawan maupun lawan, karena Semar adalah perwujudan Sang Hyang Ismaya yang menjadi manusia. Ismaya adalah simbol dewa yang menjadi manusia karena keinginannya menguasai dunia, berbeda dengan Manikmaya yang hanya patuh atau sebaliknya Sang Hyang Antaga yang memiliki keinginan sama dengan Sang Hyang Ismaya.

Setelah Sang Hyang Ismaya menjadi manusia yang buruk dan bertubuh gendut maka berjalanlah ke bumi memenuhin tugasnya mengabdi pada satria yang menegakkan keadilan dan memerangi angkara murka.

Gareng ( Hati yang tidak boleh kering )
Nala Gareng sejatinya berasal dari kata naala qorin yang artinya memperoleh banyak kawan… memperluas sahabat. Bahasa ndeso-nya, networking. Tidak jarang, pekerjaan datang dari kawan tanpa pernah diduga-duga.
 
Gareng adalah anak pertama Semar. Gareng konon berasal dari batang kayu kering, kemudian dijadikan Semar yang merasa kesepian di bumi menjadi anaknya.
 
Gareng adalah tokoh yang tidak cakap dalam berkata-kata, tapi memiliki pemikiran-pemikiran luar biasa, cerdik dan pandai, banyak kawan
 

Nalagareng adalah seorang yang tak pandai bicara, apa yang dikatakannya kedang-kadang serba salah , tetapi dia sangat lucu dan menggelikan.

Ia pernah menjadi raja di Paranggumiwang dan bernama Pandubergola.  Ia diangkat sebagai raja atas nama Dewi Subadra, bahkan ia sangat sakti dan hanya bisa dikalahkan oleh Petruk

Petruk ( Kecerdasan yang rendah hati )
Petruk diadaptasi dari kata fatruk yang artinya tinggalkan yang jelek. Selain itu, Petruk juga sering disebut Kanthong Bolong artinya kantong yang berlobang. Maknanya bahwa setiap manusia harus menzakatkan hartanya dan menyerahkan jiwa raganya kepada Yang Maha Kuasa secara ikhlas, tanpa pamrih dan ikhlas, seperti bolongnya kantong yang tanpa penghalang. Sejalan dengan orang berusaha, sikap kemantapan dan keteguhan yang tanpa pamrih dan ikhlas niscaya akan memberikan hasil yang terbaik.
Petruk - simbol tanpa pamrih dan ikhlas


Petruk adalah anak kedua Semar. Petruk berasal dari jin atau genderuwo yaitu mahluk halus yang nakal dan cerdas.

Petruk memiliki peran yang cukup menonjol di samping cara berbicaranya seperti satria,. Beda dengan Gareng atau Bagong yang disengaukan oleh Sang Dalang, maka Petruk berbicara lantang dan terkadang kelewat berani.Lakon yang digemari adalah Petruk jadi Ratu. 
 
Dalam lakon ini Petruk mendapat kesempatan menemukan pusaka " Jamus Kalimasada " milik Prabu Darmakusuma atau Puntadewa yang meninggalkan pemiliknya karena sang pemilik meninggalkan amalan-amalan yang menjadi syaratnya. Amalan pertama, sang pemilik harus memiliki iman kepada Tuhan Yang Maha Esa. Kedua, percaya kepada Rasul-Nya, ketiga percaya pada malaikat-nya, Empat Kitab-Nya, dan terakhir beriman pada Qadha dan Qadar.

Bagong ( Bayangan Semar )
 
Bagong, berasal dari kata bagho yang artinya pertimbangan makna dan rasa, antara yang baik dan buruk, benar salah. Dalam versi lain kata Bagong berasal dari Baqa’ yang berarti kekal atau langgeng. Ini sama halnya dengan sikap instropeksi yang terus-menerus walau sudah terasa nyaman di badan. Kenapa? Agar usaha yang dilakukan bisa kekal yang langgeng karena usaha itu penuh dengan ketidakpastian.
 
Bagong - simbol pertimbangan makna dan rasa, antara yang baik dan buruk, benar dan salah
 
Bagong adalah punakawan Jawa. Dalam wayang Sunda dikenal nama Cepot. Bagong adalah anak bungsu Semar atau punakawan ke 4. Dalam cerita pewayangan, Bagong adalah tokoh yang diciptakan dari bayangan Semar.

Bagong bertumbuh tambun gemuk seperti halnya Semar. Namun seperti anak-anak semar yang lain, Bagong juga suka bercanda bahkan saat menghadapi persoalan yang teramat serius selain itu bagong juga memiliki sifat lancang dan suka berlagak bodoh

Bagog berarti bayangan semar. Alkisah ketika diturunkan ke dunia, Dewa bersabda kepada semar bahwa bayangannya lah yang akan menjadi temannya. Seketika itu juga bayangannya berubah wujud menjadi bagong .


Sumber : yaenal.web & yudhi-almachzumi.blogspot.com


Senin, 19 September 2011

Ciri Perempuan Ideal dalam Budaya Jawa


"Selalu ada perempuan hebat, di samping laki-laki hebat..." 

UNGKAPAN ini laiknya filosofi tentang perempuan menurut budaya Jawa. "Estri", salah satu terminologi di Jawa untuk menyebut perempuan ini berasal dari bahasa Kawi (estren), yang berarti panjurung atau pendorong.

Hampir sama denga kata "garwo", berdasarkan etimologi rakyat Jawa, dipresepsikan sebagai "sigaraning nyowo" (belahan jiwa). Perempuan modern mengartikan falsafah Jawa ini untuk menepis anggapan bahwa perempuan dalam budaya Jawa bukan sekedar konco wingking atau pemandu sorak belaka.

Sering juga, istri disimbolkan sebagai "pedharingan" alias periuk. Dahulu, periuk adalah tempat menyimpan beras atau menanak nasi. Ini diartikan sebagai fungsi perempuan untuk menyimpan harta benda yang dicari suami, kemudian mengolahnya untuk kelangsungan hidup keluarga.

Fungsi tersebut tak ubahnya sebagaimana seorang sutradara yang berperan di belakang layar. Dimana seorang istri sangat berpengaruh dalam menentukan keputusan rumah tangga. Lalu, seperti apa ciri perempuan ideal yang selalu diharapkan oleh seorang laki-laki itu? Berikut ciri perempuan ideal yang dikutip dari Serat Candraning Wanita.

1. Mrica Pecah - Butiran Merica yang Pecah
Perempuan dalam kategori ini adalah perempuan yang digambarkan sebagai perempuan dengan badan yang ramping dan padat, dengan kulit putih dan dengan payudara yang montok.

Sifat dari ciri utama perempuan ini adalah kemampuannya yang dengan mudah dapat diterima di berbagai kalangan, tapi sangat rapat menyimpan rahasia. Perempuan seperti ini dikatakan akan membawa kebahagiaan kepada pasangan yang memiliki kedudukan yang tinggi, karena kemampuannya untuk mendampingi suami dalam berbagai kesempatan sekaligus kemampuannya untuk dapat menutup mulut dan menjaga kehormatan sang suami.

2. Surya Sumurup - Matahari Tenggelam

Bagikan semburat jingga di langit ketika mentari tenggelam, perempuan seperti ini membawa keindahan dan menampilkan keindahan yang luar biasa. Tidak hanya indah secara fisik, tapi juga dipercaya akan mampu menjadi kebanggaan pasangan karena kesetiaan luar biasa yang dimilikinya.

Ciri fisik perempuan ini adalah bibirnya yang berwarna merah jambu, dengan sorot mata yang agak kebiruan. Rambut di dahi digambarkan kuncup seperti bunga turi, dan alis perempuan dalam tipe ini digambarkan memiliki alis yang melengkung indah seperti bulan sabit. Bukan hanya secara fisik dan kesetiaan, bahkan digambarkan, perempuan ini sanggup memberikan perlawanan yang berarti dalam urusan pertarungan asmara.

3. Menjangan (atau Macan) Ketawan - Kijang (atau Harimau) Tertawan
Perempuan seperti ini digambarkan memiliki sifat yang siap dan akan selalu memberikan perlawanan yang pas bagi pasangannya, sehingga sang pasangan tidak akan pernah merasa bosan karena bersanding dengan perempuan seperti ini bagaikan petualangan menyenangkan, dan selalu memberikan kejutan yang menarik untuk di selami.

Secara fisik perempuan seperti ini memiliki gambaran wajah yang cerah ceria, mata yang terbuka lebar dan terlihat bersemangat, kulit yang bercahaya, memiliki sifat yang keras, tapi murah hati dan selalu menolong. Fisik perempuan dalam kategori ini tergolong agak besar, walau tidak berarti tegap. Perempuan yang masuk dalam kategori ini adalah perempuan yang tidak mudah tergoda dan mampu memberikan kehangatan kepada pasangannya.

Seringkali seorang perempuan tidak memiliki satu ciri saja, terkadang memiliki beberapa ciri campuran yang menyebabkan setiap perempuan menjadi unik, cantik dan ideal dengan caranya sendiri.



Sumber : Suara Merdeka

Rabu, 07 September 2011

"Mitoni", Satu Peristiwa Seribu Makna


Dalam tradisi Jawa, mitoni merupakan rangkaian upacara siklus hidup yang sampai saat ini masih dilakukan oleh sebagian masyarakat Jawa. Kata mitoni berasal dari kata ‘am’ (awalan am menunjukkan kata kerja) + ’7′ (pitu) yang berarti suatu kegiatan yang dilakukan pada hitungan ke-7. Upacara mitoni ini merupakan suatu adat kebiasaan atau suatu upacara yang dilakukan pada bulan ke-7 masa kehamilan pertama seorang perempuan dengan tujuan agar embrio dalam kandungan dan ibu yang mengandung senantiasa memperoleh keselamatan.

Upacara MITONI atau selamatan yang menandai tujuh bulan usia kehamilan itu begitu indah menarik dan mengandung seribu makna. Peristiwanya selalu berbunga-bunga sekaligus mendebarkan, karena tidak lama lagi, sepasang temanten akan segera menjadi nyokap dan bokap, sepasang papa mama akan segera menjadi kakek nenek. Mbah kakung putri akan segera menjadi eyang buyut dan seterusnya.

Adat Jawa
Wong Jowo atau orang Jawa itu kreatif dan pandai memaknai segala sesuatunya. Telinga ini dibilangnya kuping, diartikan sebagai sesuatu yang kaku njepiping, sesuatu yang kaku dan kaku. Cengkir alias kelapa muda diterjemahkan sebagai kencenging pikir atau tekad yang keras. Tebu diartikan sebagai antebing kalbu. Pisang ayu disimbolkan sebagai harapan akan kehidupan yang tata tentrem kerta rahayu, kehidupan yang indah, bahagia, tentram dan sejahtera. 

Para pahlawan disebut kusuma bangsa atau bunga bangsa, sementara para koruptor dicap sebagai kusuma bangsa...tttt!. Putri solo yang lemah gemulai diibaratkan lumakune koyo macan luwe, berjalan kalem seperti harimau lapar, sementara putri yang sedang hamil tua dikatakan seperti bulus angrem, seperti kura-kura sedang mengeram.

Begitu luasnya daya imajinasi itu sehingga melahirkan banyak ragam tata upacara adat yang sarat dengan makna simbolik, diantaranya yang menandai siklus kehidupan manusia sejak masa pra kelahiran. Salah satunya adalah upacara untuk memperingati usia kehamilan tujuh bulan yang biasa disebut "mitoni"

Orang Jawa menamai usia kehamilan tujuh bulan itu SAPTA KAWASA JATI. Sapta-tujuh, kawasa-kekuasaan, jati-nyata. Pengertiannya, jika Yang Maha Kuasa menghendaki, dapat saja pada bulan ketujuh bayi lahir sehat dan sempurna. Bayi yang lahir tujuh bulan sudah dianggap matang alias bukan premature. 

Namun apabila pada bulan ketujuh itu bayi belum lahir, maka calon orang tua atau eyangnya akan membuat upacara mitoni, yaitu upacara slametan atau mohon keselamatan dan pertolongan kepada Yang Maha Kuasa agar semuanya dapat berjalan lancar, agar bayi didalam kandungan beserta ibunya tetap diberi kesehatan serta keselamatan.

Pelaksanaan
Mitoni berasal dari kata pitu yang artinya angka tujuh. Dasar kreatif, kata bilangan itu kemudian dipakai oleh orang Jawa sebagai simbol yang mewakili kata kerja. Pitu menjadi pitulungan, bermakna mohon berkat pertolongan dari Yang Maha Kuasa.

Tahap pelaksanaannya berurutan, bermula dari siraman, brojolan dan terakhir pemakaian busana. Sangat cocok dilaksanakan pada sore hari, ngiras mandi sore. dan dihadiri oleh segenap sanak kadang, para tetangga serta handai taulan.

Siraman
Siram artinya mandi. Siraman berarti memandikan. Dimaksudkan untuk membersihkan serta menyucikan calon ibu dan bayi yang sedang dikandung, lahir maupun batin. Siraman dilakukan di tempat yang disiapkan secara khusus dan didekor indah, disebut krobongan. Atau bisa juga dilakukan di kamar mandi.


Sesuai tema, jumlah angka tujuh atau pitu kemudian dipakai sebagai simbol. Air yang digunakan diambil dari tujuh sumber, atau bisa juga dari air mineral berbagai merek, yang ditampung dalam jambangan, yaitu sejenis ember bukan dari plastik tapi terbuat dari terakota atau kuningan dan ditaburi kembang setaman atau sritaman yaitu bunga mawar, melati, kantil serta kenanga. Aneka bunga ini melambangkan kesucian. Tujuh orang bapak dan ibu teladan dipilih untuk tugas memandikan. Seolah tanpa saingan, yang pasti terpilih adalah calon kakek dan neneknya.



Tanpa tetek bengek perhiasan seperti anting, ataupun gelang akar bahar, dan hanya mengenakan lilitan jarit (kain batik), calon ibu dibimbing menuju ke tempat permandian oleh pemandu atau dukun wanita yang telah ditugasi.

Siraman diawali oleh calon kakek, berikutnya calon nenek, dilanjutkan oleh yang lainnya. Dilakukan dengan cara menuangkan atau mengguyurkan air yang berbunga-bunga itu ke tubuh calon ibu dengan menggunakan gayung yang dibuat dari batok kelapa yang masih berkelapa atau masih ada dagingnya.

Bunga-bunga yang menempel disekujur badan dibersihkan dengan air terakhir dari dalam kendi. Kendi itu kemudian dibanting kelantai oleh calon ibu hingga pecah. Semua yang hadir mengamati. Jika cucuk atau paruh kendi masih terlihat mengacung, hadirin akan berteriak: "Cowok! Laki! Jagoan! Harno!" dan komentar-komentar lain yang menggambarkan anaknya nanti bakal lahir cowok. Namun jika kendi pecah berkeping-keping, dipercaya anaknya nanti bakal cewek.

Acara ini bisa berlangsung sangat meriah. Para tamu berdesak ingin melihat dan ramai berkomentar, sementara sang MC dengan bersemangat menyiarkan berita seputar pandangan mata.

Siraman selesai, sang calon ibu yang basah kuyup dari ujung rambut hingga ujung kaki segera dikeringkan dengan handuk dan hair dryer supaya tidak perlu kerokan, masuk angin.

Brojolan
Calon ibu kini berbusana kain jarit yang diikat longgar dengan letrek yaitu sejenis benang warna merah putih dan hitam. Merah melambangkan kasih sayang calon ibu, putih melambangkan tanggung jawab calon bapak atau bokap bagi kesejahteraan keluarganya nanti. Warna hitam melambangkan kekuasaan Yang Maha Kuasa yang telah mempersatukan cinta kasih kedua orang tuanya. Tidak ada letrek, janur pun jadi.

Calon nenek memasukkan tropong (alat tenun) kedalam lilitan kain jarit kemudian dijatuhkan kebawah. Ini dimaksudkan sebagai pengharapan agar proses kelahirannya kelak, agar sang bayi dapat mbrojol lahir dengan lancar. Tidak ada tropong, telur ayam pun jadi.

Dilanjutkan dengan acara membrojolkan atau meneroboskan dua buah kelapa gading yang telah digambari lewat lilitan kain jarit yang dikenakan oleh calon ibu. Sepasang kelapa gading tersebut bisa ditato gambar Kamajaya dan Dewi Ratih atau Harjuna dan Sembadra atau Panji Asmara Bangun dan Galuh Candra Kirana. Kita tinggal pilih. Para selebriti perwayangan tersebut dikenal berwajah cantik dan ganteng. Harapannya adalah agar anak yang lahir kelak bisa keren seperti mereka. Kelapa yang mbrojol ditangkap oleh salah seorang ibu untuk nantinya diberikan kepada calon bapak.

Calon bapak bertugas memotong letrek yang mengikat calon ibu tadi dengan keris yang ujungnya telah diamankan dengan ditutupi kunyit, atau bisa juga menggunakan parang yang telah dihiasi untaian bunga melati. Ini melambangkan kewajiban suami untuk memutuskan segala rintangan dalam kehidupan keluarga.

Setelah itu calon bapak akan memecah salah satu buah kelapa bertato tadi dengan parang, sekali tebas. Apabila buah kelapa terbelah menjadi dua, maka hadirin akan berteriak: "Perempuan!" Apabila tidak terbelah, hadirin boleh berteriak: "laki-laki!" Dan apabila kelapa luput dari sabetan, karena terlanjur menggelinding sebelum dieksekusi misalnya, maka adegan boleh diulang.

Pemakaian Busana
Selesai brojolan, calon ibu dibimbing keruangan lain untuk dikenai busana kain batik atau jarit berbagai motif, motif sido luhur, sido asih, sido mukti, gondo suli, semen raja, babon angrem dan terakhir kain lurik motif lasem. Kain lurik motif lasem melambangkan cinta kasih antara bapak dan ibunya. Kain-kain yang tujuh motif tersebut dikenakan bergantian urut satu persatu.

Setiap berganti hingga kain yang ke enam, pemandu akan bertanya kepada hadirin sudah pantas atau belum, dan hadirin akan menjawab serentak: "belum!" Ketika kain ke tujuh atau terakhir dikenakan, yaitu kain lurik motif lasem, barulah hadirin menjawab sudah. Sudah pantas dan selayaknya.

Keenam kain lainnya yang tidak layak pakai itu kemudian dijadikan alas duduk calon bapak ibunya. Gaya pendudukan seperti ini disebut angreman, bukan menggambarkan bapak melainkan menggambarkan ayam yang sedang mengerami telurnya.

Sebelum matahari terbenam, sebelum ayam tertidur, seluruh rangkaian upacara ini sudah dapat dirampungkan.
 
Secara detail ada beberapa tahapan upacara mitoni, sesuai adat jawa :
1. Sungkeman
Upacara mitoni diawali dengan upacara sungkeman. Sungkeman dilakukan pertama-tama oleh calon ibu kepada calon ayah (suaminya). Kemudian, calon ibu dan ayah, melakukan sungkeman kepada kedua pasang orang tua mereka. Intinya adalah memohon doa restu agar proses kehamilan dan kelahiran kelak berjalan dengan lancar dan selamat. 
 
 
2. Siraman
Siraman atau mandi merupakan simbol upacara sebagai pernyataan tanda pembersihan diri, baik fisik maupun jiwa. Pembersihan secara simbolis ini bertujuan membebaskan calon ibu dari dosa-dosa sehingga kalau kelak si calon ibu melahirkan anak tidak mempunyai beban moral sehingga proses kelahirannya menjadi lancar..


Siraman dilakukan oleh 7 orang yang dianggap sesepuh plus suami/calon ayah. (untuk yang terakhir ini, saya juga baru tau di hari H, bahwa sang suami juga akan menjadi pihak yang memberikan air siraman). Di samping itu, saya kira yang melakukan siraman hanyalah sesepuh yang wanita, tapi ternyata bapak dan bapak mertua turut memberikan air siraman. Bisa juga pasangan orang tua dihitung sebagai 1 orang. Seperti pada siraman kemarin, urutannya adalah: 1. Mama dan Papa, 2. Bapak dan Ibu (mertua), 3. Nenek, 4. Adik Nenek, 5. Bude dari Mama, 6. Bude dari Papa, 7. Suami.


Air siraman adalah air yang berasal dari 7 sumber, misalnya dari rumah orang tua istri, rumah orang tua suami, tetangga atau saudara lainnya. Pada air siraman juga terdapat bunga 7 rupa.

Setelah acara selesai, bagi tamu yang belum mempunyai keturunan bisa mengambil air siraman yang belum terpakai, untuk digunakan sebagai air mandi (bisa dibawa pulang). Diharapkan setelah menggunakan air tersebut, tamu tersebut bisa 'ketularan' memiliki keturunan juga. 
 
3. Pecah Telur
Setelah siraman, calon ayah melakukan upacara pecah telur. 1 butir telur ayam kampung yang sebelumnya ditempelkan ke dahi dan perut calon ibu, dan kemudian dibanting ke lantai. Telur tersebut harus pecah, sebagai perlambang proses persalinan nanti dapat berjalan dengan lancar tanpa aral melintang. Dari referensi yang saya baca, ada juga yang dengan cara memasukkan telur tersebut ke dalam kain calon ibu.  
 
 
 4. Memutus Lawe/benang/janur
Berikutnya, masih di tempat siraman berlangsung, adalah upacara memutuskan lawe/benang/janur. Lawe atau Janur diikatkan ke perut calon ibu, kemudian calon ayah memutuskan lilitan tersebut. Maknanya juga agar proses persalinan berjalan lancar dan tidak ada halangan 
 
 
5. Brojolan
Yaitu memasukkan kelapa gading muda (kelapa cengkir) yang telah dilukis Kamajaya dan Dewi Ratih. Calon ibu dipakaikan sarung (longgar saja). Bagian pinggir sarung, agar tetap longgar, dipegang oleh kedua calon kakek, masing-masing di sebelah kiri dan kanan. Kemudian sang calon ayah memasukkan satu kelapa cengkir tersebut dari atas, dan siap diterima oleh salah satu calon nenek (misalnya diawali oleh calon nenek dari pihak calon ibu). Hal ini dilakukan 3 kali berturut-turut. Setelah itu, diikuti dengan proses yang sama dengan kelapa cengkir kedua, dan diterima oleh calon nenek lainnya (calon nenek dari pihak calon ayah).
 
 
Calon nenek menerima kelapa tersebut sambil membawa selendang, dan merek kemudian menggendong kelapa tersebut (seperti menggendong bayi) dan membawanya ke kamar tidur. Kelapa tersebut kemudian ditidurkan di atas tempat tidur, seperti menidurkan bayi.

Makna simbolis dari upacara ini adalah agar kelak bayi lahir dengan mudah tanpa kesulitan. 
 
 
6. Pecah Kelapa
Selanjutnya, calon ayah mengambil salah satu kelapa tersebut. Mengambilnya dengan dengan mata tertutup, sehingga ia tidak tahu kelapa yang melambangkan perempuan atau laki-laki yang diambil. Kelapa diambil dan ditempatkan di area siraman, untuk kemudian dipecahkan. Hal ini melambangkan perkiraan jenis kelamin calon bayi tersebut. 
 
 
7. Ganti Busana
Setelah calon ibu dikeringkan dan ganti dengan pakaian kering, dilakukan acara selanjutnya, yaitu upacara ganti busana. Akan terdapat 7 kali ganti pakaian, yang berupa ganti kain dan kebaya.

Kain dalam tujuh motif melambangkan kebaikan yang diharapkan bagi ibu yang mengandung tujuh bulan dan bagi si anak kelak kalau sudah lahir.

Kain yang digunakan terdapat 7 macam, dimulai dengan urutan dan makna sebagai berikut:
1. sidomukti (melambangkan kebahagiaan),

2. sidoluhur (melambangkan kemuliaan),

3. parangkusuma (melambangkan perjuangan untuk tetap hidup),

4. semen rama (melambangkan agar cinta kedua orangtua yang sebentar lagi menjadi bapak-ibu tetap bertahan selama-lamanya/tidak terceraikan),

5. udan riris (melambangkan harapan agar kehadiran dalam masyarakat anak yang akan lahir selalu menyenangkan),
6. cakar ayam (melambangkan agar anak yang akan lahir kelak dapat mandiri dalam memenuhi kebutuhan hidupnya).

7. Kain terakhir yang tercocok adalah kain dari bahan lurik bermotif lasem (melambangkan kain yang walaupun sederhana tapi pembuatannya sulit, membutuhkan kesabaran karena dibuatnya dari lembar per lembar benang. Melambangkan kesederhanaan cinta kasih orang tua kepada anaknya).


Pemakaian kain dibantu oleh kedua calon nenek dan ditanggapi oleh keluarga/tamu yang hadir (pada 6 kain dan kebaya pertama) dengan “kurang cocok…” serta pada kain terakhir (yang ke-7) dengan tanggapan “cocok”…

Kain-kain yang dipakaikan tadi, setelah diganti dengan kain berikutnya, diletakkan di bawah kaki calon ibu, sehingga lama kelamaan menumpuk dan melingkari kaki calon ibu. Setelah selesai dengan pakaian ke-7, calon ayah membantu mendudukkan calon ibu di atas tumpukan kain tersebut, sehingga tampak seperti ‘ayam mengerami telurnya’, yang melambangkan sang calon ibu menjaga dan memelihara calon bayi dalam kandungannya. 
 
8. Jualan Cendol & Rujak
 


Selanjutnya adalah upacara jualan rujak dan cendol (dawet) oleh sang calon ayah dan calon ibu. Calon ayah membawa payung untuk memayungi calon ibu saat berjualan, sementara calon ibu membawa wadah untuk menampung uang hasil jualan tersebut. Uang yang digunakan adalah uang koin yang terbuat dari tanah liat (kreweng). Sang calon ayah menerima uang tersebut dari pembeli untuk dimasukkan dalam wadah tersebut dan sang calon ibu melayani para pembeli.

Rujak yang merupakan rujak serut tersebut juga dibuat dari 7 macam buah-buahan. Calon ibu yang meracik sendiri bumbu rujaknya, melambangkan apabila rasanya kurang enak, anaknya adalah lelaki, dan sebaliknya.
 
9. Potong Tumpeng
Acara diakhiri dengan upacara potong tumpeng. Tumpeng yang juga merupakan sesajen dalam upacara mitoni ini. Tumpeng isinya berupa tumpeng terbuat dari nasi, satu tumpeng besar di tengah-tengah dan 6 tumpeng kecil di sekelilingnya, sehingga totalnya berjumlah 7 buah tumpeng.

Sajen tumpeng juga bermakna sebagai pemujaan pada arwah leluhur yang sudah tiada.
 

Tumpeng dilengkapi minimal dengan: ikan, ayam (termasuk ayam goreng yang dipotong dari ayam hidup (ayam yang dibeli dalam keadaan hidup)), perkedel, tahu dan tempe serta sayur gudangan (urap) yang bermakna agar calon bayi selalu dalam keadaan segar. Urap tersebut juga dibuat tanpa cabe (tidak pedas).

Potong tumpeng dilakukan oleh calon ayah dan diterima oleh calon ibu. Lalu keduanya melakukan upacara suap-suapan.


Selain itu, juga terdapat bubur 7 rupa. Bubur merah dan bubur putih dibuat dalam 2 wadah, yang satu bubur merah dan diberi sedikit bubur putih di tengahnya, dan sebaliknya (melambangkan benih pria dan wanita yang bersatu dalam wujud bayi yang akan lahir). Pada upacara mitoni ini, bubur 7 rupa dilengkapi dengan bubur candil, bubur sum-sum, bubur ketan hitam, bubur ... dan bubur ....
 
Makna Terdalam Upacara Mitoni
Kehamilan dipercaya merupakan fase di mana calon jabang bayi sudah mulai berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya melalui perantaraan sang ibu. Hubungan psikis antara ibu dan anak pun sudah mulai terjalin erat mulai dari fase ini. Bagi masyarakat Jawa, kehamilan adalah bagian dari siklus hidup seorang manusia. Oleh karena itu keberadaan si calon jabang bayi selalu dirayakan oleh masyarakat Jawa dengan ritual yang bernama mitoni.

Mitoni sendiri berasal dari kata pitu atau tujuh. Hal itu karena mitoni diadakan ketika usia kandungan masuk tujuh bulan. Ritual ini bertujuan agar calon bayi dan ibu selalu mendapatkan keselamatan. Ada beberapa rangkaian upacara yang dilakukan dalam mitoni, yaitu siraman sebagai simbol, memasukkan telor ayam kampung ke dalam kain calon ibu oleh sang suami, ganti busana, memasukkan kelapa gading muda, memutus lawe/lilitan benang/janur, memecahkan periuk dan gayung, minum jamu sorongan, dan nyolong endhog (mencuri telur). Rangkaian upacara itu dipercaya sebagai prosesi pengusiran marabahaya dan petaka dari ibu dan calon bayinya.

Ritual mitoni sarat dengan simbolisasi. Upacara siraman, misalnya, adalah simbol pembersihan atas segala kejahatan dari bapak dan ibu si calon bayi. Sedangkan memasukkan telur ayam kampung ke dalam kain calon ibu adalah perwujudan dari harapan agar bayi bisa dilahirkan tanpa hambatan yang berarti. Memasukkan kelapa gading muda ke dalam sarung dari perut atas calon ibu ke bawah adalah simbolisasi agar tidak ada aral melintang yang menghalangi kelahiran si bayi.

Setelah itu calon ibu akan berganti pakaian dengan kain 7 motif. Para tamu diminta untuk memilih kain yang paling cocok dengan calon ibu. Sedangkan pemutusan lawe/lilitan benang atau janur yang dilakukan setelah pergantian kain masih bermakna agar kelahiran berjalan dengan lancar. Lilitan itu harus diputus oleh suami. Pemecahan gayung atau periuk mengandung makna agar saat nanti sang ibu mengandung lagi, diharapkan kehamilannya berjalan dengan lancar. Sedangkan upacara minum jamu sorongan (dorongan) berarti bayi bisa lahir dengan cepat dan lancar seperti disurung (didorong). Dan yang terakhir, mencuri endhog atau telur, merupakan perwujudan atas keinginan calon bapak agar proses kelahiran berjalan dengan cepat, secepat maling yang mencuri.

Untuk melakukan mitoni, harus dipilih hari yang benar-benar bagus dan membawa berkah. Orang Jawa memiliki perhitungan khusus dalam menentukan hari baik dan hari yang dianggap kurang baik. Selain itu, biasanya mitoni digelar pada siang atau sore hari. Hari yang dianggap baik adalah Senin siang sampai malam serta Jumat siang sampai Jumat malam.
Mitoni tidak bisa dilakukan pada sembarang tempat. Dulu mitoni biasa dilakukan di pasren atau tempat bagi para petani untuk memuja Dewi Sri, Dewi Kemakmuran bagi para petani. Namun mengingat dewasa ini sangat jarang ditemui pasren, maka mitoni dilakukan di ruang tengah atau ruang keluarga selama ruangan itu cukup besar untuk menampung banyak tamu. Anggota keluarga yang tertua seringkali dipercaya untuk memimpin pelaksanaan mitoni.

Setelah melakukan serangkaian upacara, para tamu yang hadir diajak untuk memanjatkan doa bersama-sama demi keselamatan ibu dan calon bayinya. Tak lupa setelah itu mereka akan diberi berkat untuk dibawa pulang. Berkat itu biasanya berisi nasi lengkap beserta lauk pauknya.
 
 
 
Sumber : debritto.net, mylittlean9el.blogspot.com & elbelinda.blogspot.com

Omed-omedan, Tradisi Ciuman Massal Desa Sesetan


Sehari pasca-Nyepi, ada sebuah tradisi unik yang selalu digelar pemuda-pemudi Banjar Kaja, Sesetan, Denpasar, yakni omed-omedan atau ciuman massal antara pemuda dan pemudi desa sebagai wujud kebahagiaan di hari ngembak geni. Peserta omed-omedan adalah sekaa teruna-teruni atau pemuda-pemudi mulai dari umur 17 tahun hingga 30 tahun atau yang sudah menginjak dewasa tetapi belum menikah.

Dalam Kamus Bali-Indonesia, omed-omedan berarti tarik-menarik. "Omed-omedan adalah budaya leluhur yang sampai saat ini terus kita lestarikan," ujar I Putu Wiranata Jaya, ketua panitia. Pernah suatu waktu omed-omedan tidak dilaksanakan dan muncul musibah yang ditandai dengan perangnya 2 ekor babi di Banjar Kaja. Kemudian para sesepuh desa memutuskan untuk langsung menggelar prosesi omed-omedan untuk menjauhkan desa dari bencana yang lebih besar.

Prosesi omed-omedan dimulai dengan persembahyangan bersama antar peserta omed-omedan di pura banjar untuk memohon keselamatan dan kelancaran selama berlangsungnya acara. Seusai sembahyang, peserta dibagi 2 kelompok, pria dan wanita. Sekitar 50 pemuda berhadapan dengan 50 pemudi. Setelah ada aba-aba dari para sesepuh desa, kedua kelompok saling bertemu satu sama lain dan peserta terdepan saling berciuman di depan ribuan penonton yang memadati sekitar lokasi omed-omedan. 


Prosesi tersebut dilakukan secara bergantian dan setiap peserta pria ataupun wanita menunjuk salah seorang rekan mereka untuk beradu ciuman di barisan terdepan.

Dalam acara omed-omedan ini, usia peserta dibatasi. minimal SMP dan belum lulus kuliah dan belum menikah. Selain itu, semua peserta diwajibkan menggunakan pakaian adat khas Bali.













Asal-usul
Asal usul festival ciuman massal ini berasal dari cerita rakyat pada jaman dulu. Konon saat itu Raja Puri Oka sedang sakit keras dan tidak ada tabib istana yang bisa menyembuhkan sakitnya. Pada hari raya Nyepi, masyarakat di Puri Oka mengelar acara omed-omedan (tarik-tarikan). Karena suasana begitu meriah maka tercipta kegaduhan yang membuat Raja yang sedang sakit marah besar.

Bermaksud menghentikan acara, sang Raja berjalan terhuyung-huyung keluar istana. Dan ajaib sang raja tiba-tiba sembuh setelah melihat acara omed-omedan tersebut. Akhirnya Raja mengeluarkan titah agar acara omed-omedan harus digelar setiap tahun setelah upacara Nyepi.

Tradisi cium-mencium omed-omedan sudah berlangsung sejak abad 17. Dan terus dilaksanakan setiap usai perayaan hari raya upacara Nyepi. Selain menjaga kebersamaan, warga khawatir akan terjadi petaka jika tradisi ini dihentikan.

Lihat videonya :




Sumber : Kompas

Upacara Potong Gigi (Mapandes)


Acuan
Sumber sastra mengenai upacara potong gigi adalah lontar Kala Pati,kala tattwa,Semaradhana,dan sang Hyang Yama.dalam lontar kala Pati disebutkan bahwa potong gigi sebagai tanda perubahan status seseorang menjadi manusia sejati yaitu manusia yang berbudi dan suci sehingga kelak di kemudian hari bila meniggal dunia sang roh dapat bertemu dengan para leluhur di sorga Loka.Lontar Kala tattwa menyebutkan bahwa Bathara Kala sebagai putra Dewa Siwa dengan Dewi Uma tidak bisa bertemu dengan ayahnya di sorga sebelum taringnya dipotong.Oleh karena itu, manusia hendaknya menuruti jejak Bathara kala agar rohnya dapat bertemu dengan roh leluhur di sorga.dalam lontar Semaradhana disebutkan bahwa Bethara Gana sebagai putra Dewa Siwa yang lain dapat mengalahkan raksasa NIlarudraka yang menyerang sorgaloka dengan menggunakan potongan taringnya.

Selain itu disebutkan bahwa Bethara Gana lahir dari Dewi Uma setelah Dewa Siwa dibangunkan Dari tapa semadhinya oleh Dewa Semara (Asmara) namun kemudian Dewa Siwa menghukum Dewa Semara bersama istrinya, Dewi Ratih,dengan membakarnya sampai menjadi abu.kemudian menyebarkan abu tersebut ke dunia dan mengutuk manusia agar tidak bisa hidup tanpa brepasangan (laki-perempuan) dalam suami istri.Dalam lontar Sang Hyang yama disebutkan bahwa upacara potong gigi boleh dilaksanakan bila naka sudah menginjak dewasa, ditandai dengan menstruasi untuk wanita dan suara yang membesar untuk pria.Biasanya hal ini muncul di kala usia 14 tahun.

Tujuan Upacara Potong Gigi

Tujuan upacara potong gigi dapat disimak lebih lanjut dari lontarkalapati dimana disebutkan bahwa gigi yang digosok atau diratakan dari gerigi adalah enam buah yaitu dua taringdan empat gigi seri di atas.Pemotongan enam gigi itu melambangkan symbol pengendalian terhadap sad Ripu (enam musuh dalam diri manusia).Meliputi kama (hawa nafsu),Loba (rakus),Krodha (marah),mada (mabuk),moha (bingung),dan Matsarya (iri hati).Sad Ripu yang tidak terkendalikan ini akan membahayakan kehidupan manusia,maka kewajiban setiap orang tua untuk menasehati anak-anaknya serta memohon kepada Hyang Widhi Wasa agar terhindar dari pengaruh sad ripu.


Makna yang tersirat dari mitologi Kala Pati,kala Tattwa,dan Semaradhana ini adalah mengupayakan kehidupan manusia yang selalu waspada agar tidak tersesat dari ajaran agama (dharma) sehingga di kemudian hari rohnya dapat yang suci dapat mencapai surge loka bersama roh suci para leluhur, bersatu dengan Brahman (Hyang Widhi).Dalam pergaulan muda-mudi pun diatur agar tidak melewati batas kesusilaan seperti yang tersirat dari lontar Semaradhana.

Upacara potong gigi biasanya disatukan dengan upacara Ngeraja Sewala atau disebutkan pula sebagai upacara “menek kelih”, yaitu upacara syukuran karena si anak sudah menginjak dewasa,meninggalkan masa anak-anak menuju ke masa dewasa.

Urutan Upacara :
1.    Setelah sulinggih ngarga tirta,mereresik dan mapiuning di Sangah Surya,maka mereka yang akan mepandes dilukat dengan padudusan madya,setelah itu mereka memuja Hyang raitya untuk memohon keselamatan dalam melaksanakan upacara.

2.    Potong rambut dan merajah dilaksanakan dengan tujuan mensucikan diri serta menandai adanya peningkatan status sebagai manusia yaitu meningalkan masa anak-anak ke masa remaja.

3.    Naik ke bale tempat mepandes dengan terlebih dahulu menginjak caru sebagai lambing keharmonisan,mengetukkan linggis tiga kali (Ang,Ung,Mang) sebagai symbol mohon kekuatan kepada Hyang Widhi dan ketiak kiri menjepit caket sebagai symbol kebulatan tekad untuk mewaspadai sad ripu.

4.    Selama mepandes,air kumur dibuang di sebuah nyuh gading afar tidak menimbulkan keletehan.

5.    Dilanjutkan dengan mebiakala sebagai sarana penyucian serta menghilangkan mala untuk menyongsong kehidupan masa remaja.

6.    Mapedamel berasal dari kata “dama” yang artinya bijaksana.Tujuan mapedamel setelah potong gigi adalah agar si anak dalam kehidupan masa remaja dan seterusnya menjadi orang yang bijaksana,yaitu tahap menghadapi suka duka kehidupan,selalu berpegang pada ajaran agama Hindu,mempunyai pandangan luas,dan dapat menentukan sikap yang baik, karena dapat memahami apa yang disebut dharma dan apa yang disebut adharma.Secara simbolis ketika mepadamel,dilakukan sebagai berikut :

•    Mengenakan kain putih,kampuh kuning,dan selempang samara ratih sebagai symbol restu dari Dewa Semara dan Dewi Ratih (berdasarkan lontar Semaradhana tersebut).

•    Memakai benang pawitra berwarna tridatu (merah,putih,hitam) sebagai symbol pengikatan diri terhadap norma-norma agama.

•    Mencicipi Sad rasa yaitu enam rasa berupa rasa pahit dan asam sebagai simbol agar tabah menghadapi peristiwa jehidupan yang kadang-kadang tidak menyenangkan,rasa pedas sebagai simbol agar tidak menjadi marah bila mengalamai atau mendengar hal yang menjengkelkan,rasa sepat sebagai symbol agar taat ada peraturan atau norma-norma yang berlaku,rasa asin sebagai simbol kebijaksanaan,selalu meningkatkan kualitas pengetahuan karena pembelajaran diri,dan rasa manis sebagai symbol kehidupan yang bahagia lahir bathin sesuai cita-cita akan diperoleh bilamana mampu menhadapi pahit getirnya kehidupan,berpandangan luas,disiplin,serta enantiasa waspada dengan adanya sad ripu dalam diri manusia.

7.    Natab banten,tujuannya memohon anugerah Hyang Widhi agar apa yang menjadi tujuan melaksanakan upacara dapat tercapai.

8.    Metapak,mengandung makna tanda bahwa kewajiban orang tua terhadap anaknya dimulai sejak berada dalam kandungan ibu sampai menajdi dewasa secara spiritual sudah selesai,makna lainnya adalah ucapan terima kasih si anak kepada orang tuanya karena telah memelihara dengan baik,serta memohon maaf atas kesalahan-kesalahan anak terhadap orang tua,juga mohon doa restu agar selamat dalam menempuh kehidupan di masa datang.

Demikianlah sekilas makna dari upacara potog gigi atau mepandes.Istilah lainnya yang digunakan untuk Upacara ini di Bali adalah mesangih.


Sumber :
Leaflet Serial Upacara Panca Yadya 2003
Koleksi Bhagawab 19450313

Oleh :
Ida Pandita Sri Bhagawan Dwija Warsa Nawa Sandhi
Geria Taman Sari Lingga Ashrama
Jalan pantai Lingga Singaraja Bali
Telp: 0362 22113,27010
HP: 08179719864
 E-mail : bhagawandwija@yahoo.com