Senin, 26 Desember 2011

Mengenal Tenun Suku Kajang


Di negeri Tana Toa, tempat Suku Kajang berdiam, tenun adalah pendidikan kecakapan hidup, keterampilan yang diwariskan tidak hanya melalui garis vertikal kekerabatan, melainkan juga horisontal, yang semakin merekatkan keterkaitan emosional mereka satu sama lain.

Tenun, di Suku Kajang lebih dari sekadar menciptakan lembaran-lembaran kain bermotif cantik, tapi merupakan cara pembelajaran hidup yang senantiasa berdampingan dengan alam.

Tidak seperti kampung penghasil tenun lain yang sudah mulai memperjualbelikan tenun mereka, masyarakat Suku Kajang masih menenun untuk memenuhi kebutuhan mereka, atau untuk keperluan ritual adat. Meskipun ada satu atau dua kain yang dijual kepada pelancong jika mereka datang berkunjung.

Dalam soal menenun, sekali lagi Suku Kajang mengingatkan akan Suku Baduy, baik dari segi motif maupun warna kain tenun. Kedua suku adat tersebut menghasilkan sarung tenun hitam dengan motif garis geometris, yang membuktikan adanya paralel budaya antara Suku Kajang dan Baduy.

Adapun hingga kini, masyarakat Kajang masih mempertahankan motif kuno warisan leluhur, yakni motif ratu puteh, ratu gahu dan ratu ejah. Motif ini hadir berupa garis geometris halus yang membelah sarung tenun secara vertikal.

Namun tidak seperti tenun lain yang juga menjadi simbol status bagi penggunanya, tenun Kajang merepresentasikan keseteraan, semua orang bisa menggunakan motif yang sama di berbagai kesempatan.

Proses menenun di Suku Kajang masih terbilang tradisional dengan alat tenun peninggalan nenek moyang yang terbuat dari kayu. Masyarakat Kajang biasanya menenun di siring (bagian bawah) rumah.

Kendati demikian, sekarang ini mereka sudah tidak lagi menggunakan benang kapas, melainkan benang pabrikan yang diperoleh dari pasar di Kota Makassar.

Sebelum menenun, benang katun warna putih terlebih dahulu melewati proses pewarnaan alam dengan bahan baku daun tarum (daun nila atau indigo) yang telah dicampur kapur panas dan air abu dapur. Pewarnaan ini dilakukan selama dua kali dalam sehari dan berulang-ulang hingga menghasilkan warna biru kehitaman.

Bila sudah hitam, benang-benang dikeringkan untuk kemudian ditenun. Satu sarung Kajang dikerjakan selama kurang lebih 10 hari bila tidak pergi ke ladang, namun bila dikerjakan sembari berladang akan menghabiskan waktu selama dua minggu. Bila sudah menjadi kain, sarung dicuci menggunakan air tanpa sabun, kemudian dijemur.

Setelah kering kain digosok menggunakan bilalu keong laut berbintik untuk menghasilkan warna biru yang mengkilap. Di Suku Kajang, tenun tidak dipisahkan secara gender. Kain laki-laki manapun perempuan tidak ada bedanya.

Proses menenun yang mengajarkan cara hidup berdampingan dengan alam bisa dilihat sejak awal. Mulai pencelupan hingga pencucian, masyarakat Suku Kajang tidak menggunakan satu pun bahan kimia.

Bahkan untuk mencuci kain yang sudah jadi, mereka tidak menggunakan deterjen, hanya murni air. Dari pewarnaan, masyarakat Suku Kajang menggunakan daun nila (Indigofera tinctoria) yang merupakan pewarna alami. Adapun proses menenun yang membutuhkan waktu hingga dua minggu, menjadi ajang melatih kesabaran juga ketekunan.

Menelusuri jejak adat Tana Toa, seakan memasuki kehidupan masa lampau sekaligus zaman sekarang. Di satu sisi, situs-situs yang hanya dijaga warga memberi gambaran suku Kajang tempo dulu.


Sumber : Inilah.com

Mengenal Suku Kajang

ANTARA/Sahrul Manda Tikupadang

Suku Kajang adalah suku yang mendiami desa-desa di Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan. Desa suku Kajang yang utama adalah desa Tana Toa. Selebihnya, mereka tersebar di desa Bonto Baji, Malleleng, Pattiroang, Batu Nilamung, dan Tambangan.

Rumah adat suku Kajang berbentuk rumah panggung, ‘tak jauh beda bentuknya dengan rumah adat suku Bugis-Makassar. Bedanya, setiap rumah dibangun menghadap ke arah barat. Membangun rumah melawan arah terbitnya matahari dipercayai mampu memberikan berkah.

Wilayah desa suku Kajang dikelilingi hutan-hutan yang terawat dan masih perawan. Suku Kajang memang memiliki adat untuk menjaga lingkungan. Toh hutan-hutan itu jugalah yang menjadi sumber penghidupan bagi mereka.

Ciri khas suku Kajang yang paling menonjol adalah pakaian adatnya yang serba hitam. Bagi mereka, hitam adalah persamaan. Tidak ada beda antara hitam yang satu dengan yang lain. Selain itu, hitam juga merupakan simbol kesakralan.

Suku Kajang juga teguh untuk hidup sederhana sesuai adat. Mereka menolak segala bentuk perkembangan teknologi. Bagi mereka, teknologi dapat membuat hidup menjadi negatif dan dapat merusak lingkungan.

Ajaran tentang menjaga lingkungan dan kesederhanaan hidup tersebut tertuang dalam ajaran agama Patuntung, agama suku Kajang. Patuntung, secara bahasa, berarti penuntun. Penuntun untuk mencari sumber kebenaran.

Ajaran utama agama Patuntung adalah jika manusia ingin mendapatakan sumber kebenaran maka manusia harus menyandarkan diri pada tiga pilar utama: menghormati Turiek Akrakna (Tuhan), tanah yang diberikan Turiek Akrakna (tana toa atau lingkungan secara umum), dan nenek moyang (To Manurung atau Ammatoa).

Percaya pada Turiek Akrakna adalah hal mendasar dalam agama Patuntung. Suku Kajang percaya bahwa Turiek Akrakna adalah sang Maha Kekal, Maha Mengetahui, Maha Perkasa, dan Maha Kuasa.

Turiek Akrakna menurunkan perintahnya kepada masyarakat Kajang melalui passang (pesan atau wahyu) yang diberikan kepada manusia pertama yang diturunkan ke dunia, To Manurung atau yang kemudian disebut Ammatoa.

Passang berisi pengetahuan hidup yang harus ditaati. Kalau tidak ditaati maka akan terjadi hal-hal buruk. Salah satu contoh passang adalah: punna suruki, bebbeki. Punna nilingkai, pesoki (kalau kita jongkok, gugur rambut dan tidak tumbuh lagi. Kalau dilangkahi, lumpuh).

Agar pasang tersampaikan dengan baik maka Turiek Akrakna memerintahkan Ammatoa untuk menjaga dan menyebarkannya. Ammatoa juga berfungsi sebagai mediator antara Turiek Akrakna dengan manusia. Makanya, adat suku Kajang sering juga disebut adat Ammatoa.


Sumber : Kompas.