Suku Madura di Indonesia jumlahnya kira-kira ada 10 juta jiwa. Mereka berasal dari Pulau Madura dan pulau-pulau sekitarnya, seperti Gili Raja, Pulau Sapudi, Pulau Raas dan Kangean. Selain itu, orang Madura tinggal di bagian timur Jawa Timur, dari Pasuruan sampai utara Banyuwangi. Orang Madura di Situbondo dan Bondowoso, serta timur Probolinggo jumlahnya paling banyak, dan jarang yang bisa berbahasa Jawa.
Suku Madura juga banyak dijumpai di provinsi lain seperti Kalimantan, di tempat huruhara di Sampit dan Sambas. Orang Madura pada dasarnya adalah orang yang suka merantau karena keadaan wilayahnya yang tidak baik untuk bertani. Orang Madura senang berdagang dan dominan di pasar-pasar. Selain itu banyak yang bekerja menjadi nelayan, buruh, pengumpul besi tua dan barang-barang rongsokan lainnya.
Suku Madura terkenal karena gaya bicaranya yang blak-blakan serta sifatnya yang keras dan mudah tersinggung, tetapi mereka juga dikenal hemat, disiplin dan rajin bekerja. Untuk naik haji, orang Madura sekalipun miskin pasti menyisihkan sedikit penghasilannya untuk simpanan naik haji. Selain itu orang Madura dikenal mempunyai tradisi Islam yang kuat, sekalipun kadang melakukan ritual Pethik Laut atau Rokat Tasse (sama dengan Larung Sesaji).
Harga diri, juga paling penting dalam kehidupan orang Madura, mereka memiliki sebuah peribahasa “Lebbi Bagus Pote Tollang, atembang Pote Mata”. Artinya, lebih baik mati (putih tulang) daripada malu (putih mata). Tradisi carok juga berasal dari sifat itu (maduracenter.wordpress.com)
Proses Adaptasi Antar Budaya Suku Madura
1. Enculturasi
Merupakan proses pembentukan cara mengekspresikan dan memahami perilaku sosial dasar dari budaya asal dan di internalisasi melalui pembiasaan dalam lingkungan keluarga dan lingkungan asal. Dengan kata lain, enkulturasi adalah budaya dasar atau budaya asli dari sebuah kelompok atau etnik.
Masyarakat Madura memiliki budaya dasar yang lumayan beragam, diantaranya adalah:
a. Budaya kelompok
Masyarakat Madura adalah masyarakat yang kolekitivis, hal ini terbukti dengan adanya kelompok-kelompok tertentu yang berada dalam masyarakat Madura itu sendiri. Dan masing-masing dari kelompok itu juga mempunyai salah seorang penguasa kelompok. Perilaku dari anggota kelompok itu pun bermacam- macam sesuai dengan kebijakan dari kelompok masing-masing.
b. Budaya gotoong royong
Budaya ini sangat terlihat saat ada prosesi kematian atau pernikahan yang diselenggarakan oleh penduduk Madura. Karena di saat itulah sanak saudara yang berada jauh dari Madura akan dengan rela hati menyempatkan diri datang ke Madura untuk membantu keluarganya yang di Madura, begitu pula dengan tetangga-tetangga dekat atau jauhnya.
c. Budaya “taretan dhibi’”
Budaya “taretan dhibi’” (saudara sendiri) ini merupakan budaya dasar orang Madura. Dimana pun, kapan pun, dan dalam keadaan apa pun, orang-orang Madura akan tetap memegang budaya ini. Sebab dari sinilah mereka memiiliki ikatan emosional tersendiri dan akan merasa bangga bahwa nantinya jika ada salah seorang yang membutuhkan bantuan atau tertimpa musibah, maka saudaranya tidak akan segan-segan untuk membantunya.
d. Budaya bahasa
Rasa memiliki bahasa Madura sebagai alat pemersatu orang-orang Madura dimana pun mereka berada, sebenarnya adalah budaya dasar Madura. Akan tetapi, semakin hari semakin lama, orang-orang Madura mulai jarang menggunakan bahasanya sendiri. Sehingga dengan adanya kenyataan ini, pemerintah kota Surabaya pernah mengadakan lomba pantun dan syair Madura. Tujuannya adalah tidak lain untuk tetap melestarikan bahasa Madura sebagai bahasa daerah Madura.
e. Budaya “to’ oto’ “
Budaya ini hanya ada di Madura. Budaya “to’ oto’ “ sama halnya seperti arisan. Akan tetapi di Madura arisan ini diadakan oleh seseorang yang sedang ada hajat, dan orang yang menyumbangkan arisannya itu akan menganggap orang yang mengadakan arisan tersebut sedang berhutang pada orang-orang yang mengikuti arisan tersebut. Maka si pelaksana arisan harus mengembalikan hutang itu pada tamu-tamu undangannya. Jika orang yang memberikan uang arisan itu tidak atau belum dibayar oleh si pelaksana arisan, maka orang yang memberikan uang tadi itu akan menagih pada si pelaksana arisan sesuai dengan jumlah yang ia berikan.
f. Budaya carok
Budaya ini sebenarnya merupakan sarkasme bagi entitas budaya Madura. Dalam sejarah orang Madura, carok adalah duel satu lawan satu, dan ada kesepakatan sebelumnya untuk melakukan duel. Malah dalam persiapannya, dilakukan ritual-ritual tertentu menjelang carok berlangsung. Kedua pihak pelaku carok, sebelumnya sama-sama mendapat restu dari keluarga masing-masing. Karenanya, sebelum hari H duel maut bersenjata celurit dilakukan, di rumahnya diselenggarakan selamatan dan pembekalan agama berupa pengajian. Oleh keluarganya, pelaku carok sudah dipersiapkan dan diikhlaskan untuk terbunuh.
Carok ini adalah sebuah pembelaan harga diri ketika diinjak-injak oleh orang lain, yang berhubungan dengan harta, tahta dan wanita. Pada intinya carok ini dilakukan untuk menjaga kehormatan. Ungkapan etnografi yang menyatakan, etembang pote mata lebih bagus pote tolang (daripada hidup menanggung perasaan malu, lebih baik mati berkalang tanah) inilah yang menjadi motivasi orang untuk melakukan carok.
2. Acculturasi
Akulturasi adalah proses secara bertahap, seseorang mendeteksi kesamaan dan perbedaan budayanya sendiri dengan lingkungan barunya.
Orang Madura dan orang Jawa pada kenyataannya memiliki budaya yang sama dalam hal sopan santun. Keduanya ternyata sama-sama menjunjung tinggi sopan santun kepada orang lain terutama kepada orang yang lebih tua atau kepada kedua orang tua. Hanya saja yang berbeda adalah dalam menjaga harga diri. Jika harga diri orang Madura dilecehkan dan tidak dihargai maka orang Madura akan marah dan tidak terima akan hal itu. Jika orang lain masih meremehakannya dan membuatnya sakit hati maka tidak hanya dirinya yang tersakiti yang akan maju menghadapi orang yang telah membuatnya sakit hati, akan tetapi sanak saudara dan orang-orang sesama Madura (bagi yang berada di luar Madura) akan membantu temannya yang sedang sakit hati ini untuk melawan orang tersebut. Inilah yang membedakan antara orang Jawa dan Madura pada umumnya.
3. Dekulturasi
Dekulturasi adalah proses dimana seseorang tidak mempelajari budaya mendasar dari budaya barunya. Dan dia masih tetap memegang budayanya sendiri.
Bagi orang Madura yang berada di perantauan, mereka akan tetap memegang budaya kekeluargaannya, yakni merasa malu jika perbuatan yang dilakukan itu salah, sopan santun, keramahan, dan “taretan dhibi’ “, sebagaimana telah dijelaskan di atas tadi pada bagian enkulturasi. Akan tetapi yang perlu diingat dan dijadikan catatan adalah jangan sampai membuat orang Madura sakit hati.
4. Asimilasi
Asimilasi adalah tingkat akulturasi dengan budaya baru dan tingkatan dekulturasi dari budaya asalnya. Dan dari asimilasi inilah cikal bakal terjadinya adaptasi.
Dalam masyarakat Madura, adat pernikahan orang Madura dahulu adalah dengan cara lesehan tanpa ada kursi ataupun pelaminan. Akan tetapi karena semakin banyaknya orang Madura yang memiliki pasangan yang berasal dari luar Madura maka saat ini, adat pernikahan Madura yang awalnya lesehan itu menjadi tidak ada dan berganti dengan adat pernikahan seperti orang Jawa kebanyakan. Bahkan jika ada keluarga yang bisa menikahkan anak-anaknya di gedung-gedung hal itu menjadi kebanggaan tersendiri.
Selain itu pula, prosesi tukar cincin dalam pernikahan orang Madura saat ini mulai merebak. Padahal sebenarnya prosesi tukar cincin itu bukan berasal dari adat budaya Islam, hanya sebagian masyarakat Madura yang masih memegang teguh ajaran Islamnya saja yang tidak melakukan prosesi tukar cincin tersebut. Karena prosesi itu dilaksanakan sebelum akad nikah, dan dalam Islam jika belum di akad nikah maka kedua orang laki-laki dan perempuan itu belum menjadi mahram.(edukasi.kompasiana.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar