Suku Minangkabau yang mendominasi daerah sepanjang pantai Sumatra Utara, Sumatra Barat , sebagian pedalaman Riau dan Bengkulu Utara ini berjumlah sekitar 3.5 juta jiwa pada awal tahun 90an. Seperti halnya Batak mereka mempunyai jaringan kelompok kekeluargaan yang besar, tetapi bedanya mereka menganut tradisi garis keturunan dari ibu atau paham Matriarkal. Dalam sistem ini, seorang anak dianggap sebagai penerus keturunan dari pihak ibu, bukan dari sang ayah.
Sebagai contoh, seorang anak laki-laki menyandang tanggung jawab utama terhadap ibu dan saudara perempuannya. Dalam pelaksanaannya, terutama di sebagian besar daerah pedesaan, seorang laki-laki muda akan mengunjungi istrinya pada malam hari dan lebih banyak menghabiskan waktu bersama saudara perempuan beserta anak-anaknya di siang hari. Adalah hal yang normal jika anak perempuan yang sudah menikah tetap tinggal di rumah orang tua. Menurut hasil studi seorang anthropologist Joel S. Kahn pada tahun 1980, ada kecenderungan pada masyarakat Minangkabau dimana saudara perempuan dan anggota keluarga yang belum menikah berusaha tinggal berdekatan satu sama lain atau bahkan dalam satu rumah.
Kepemikikan tanah adalah salah satu fungsi yang sangat krusial dari peran perempuan atau biasa disebut suku. Karena laki-laki Minangkabau, seperti halnya laki-laki Aceh lebih sering merantau untuk mencari pengalaman, kelompok perempuan ini bertanggung jawab untuk menjaga kekayaan, urusan bisnis, kelangsungan keluarga, distribusi serta pengolahan tanah mereka. Kelompok ini dipimpin oleh seorang penghulu. Pimpinan dipilih oleh pemimpin masing-masing kelompok garis keturunan. Meski peran suku melemah terutama yang berhubungan dengan urusan perekonomian luar yang langsung ditangani laki-laki, posisi penghulu ini tidak selalu diisi jika yang bersangkutan meninggal, khususnya jika para anggota pemegang garis keturunan tidak bersedia menanggung biaya yang diperlukan untuk menggelar upacara pemilihan penghulu yang baru.
Pertentangan hukum sharia dan adat yang lebih berorientasi pada peran utama perempuan ini sering dituduh sebagai penyebab konflik sosial dalam masyarakat Minangkabau. Toh hukum sharia yang mengedepankan peran laki-laki sebagai pemimpin ini menawarkan sedikit keseimbangan pada kaum laki-laki Minangkabau untuk melawan dominasi hukum adat, seperti misalnya memaksa seorang laki-laki muda menunggu dengan pasif lamaran pernikahan dari pihak keluarga perempuan. Dengan pencapaian di bidang pendidikan dan material yang didapat dari merantau, seorang laki-laki muda bisa mengubah nasib mereka ke arah yang lebih positif.
Terlihat perubahan yang meningkat akhir-akhir ini, jika pasangan yang sudah menikah pergi merantau, maka peran perempuan cenderung berubah. Jika pasangan tersebut menetap di daerah urban atau di luar wilayah Minangkabau, pihak perempuan bisa kehilangan beberapa hak mereka dari segi sosial maupun ekonomi termasuk hak kepemilikan. Posisi mereka akan semakin lemah sehingga angka perceraian meningkat.
Minangkabau terkenal dengan tokoh-tokoh intelektual yang membidani perjuangan kemerdekaan Indonesia di masa lalu. Mereka bukan hanya pemeluk Islam yang taat, tetapi juga berbahasa mirip dengan Bahasa Indonesia, yang mempunyai konotasi dan hirarki kebangsaan lebih daripada bahasa Jawa.
Diilhami dari tradisi mereka yang suka merantau, orang Minangkabau berhasil mambangun budaya masyarakat kosmopolitan sehingga mereka lebih siap menerima dan mempromosikan ide-ide terbentuknya negara kesatuan.
Sumber : lestariweb.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar